Latest News
SLEMAN: Peserta pameran Jogja Holiday Fair yang diadakan Ambarrukmo Plaza (Amplaz) serta PT Metamorf Promosindo panen omzet.
Menjelang hingga sesudah Lebaran jumlah pengunjung meningkat. “Kunjungan ramai sejak hari kedua pameran sampai sekarang, tapi puncaknya saat H-1 dan H+3 Lebaran. Pameran dibuka pukul 10.00-22.00 WIB,” terang Adi.
Meski jumlah pengunjung tidak sebanyak jelang dan sesudah Lebaran tetapi, katanya, sampai Rabu (15/9) kunjungan masih tinggi. “Karena masuk sekolah Senin (20/9), jadi banyak yang libur.”
Pengunjung pameran, ujarnya, mayoritas berasal dari luar kota atau pemudik yang datang ke Jogja. Untuk itu, ia yakin hingga hari terakhir pameran intensitas kunjungan tetap tinggi.
“Ada peserta yang kenaikan omzetnya sampai 60%. Misalnya omzet biasa Rp1 juta per hari jadi Rp5 juta-Rp6 juta per hari,” tambahnya
sumber: www.harianjogja.com
YOGYA (KRjogja.com) - Para pengusaha di kawasan Malioboro yang tergabung dalam Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM) mengeluhkan omset penjualan selama libur lebaran tahun ini yang tidak sebagus tahun lalu. Masa libur lebaran yang terlalu pendek ditambah perubahan cuaca yang tidak menentu, disinyalir menjadi penyebab jebloknya omset penjualan tersebut.
"Kami tidak tahu pasti kenapa bisa terjadi, padahal kami perkirakan minimal sama dengan tahun lalu. Mungkin karena masa liburan yang lebih pendek sehingga masa kunjungan ke Yogyakarta dan berbelanja lebih pendek," kata Ketua Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM), Suryadi Suryadinata di Toko Batik Surya, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (16/9).
Suryadi mengatakan hari lebaran yang jatuh pada hari Jumat, membuat masa liburan lebih pendek dan sama seperti liburan biasa pada akhir pekan. Masa libur yang pendek juga berakibat pada menumpuknya pengunjung hanya di beberapa hari saja dan banyak toko oleh-oleh kewalahan melayani para pengunjung.
"Padahal kalau masanya lebih panjang, kita sebagai pengusaha pun bisa lebih santai melayani konsumen. Konsumen pun tidak perlu berdesakan berbelanja karena bisa memilih hari yang dianggap lengang untuk berbelanja," katanya.
Ditambahkannya, kondisi parkir yang semrawut dan sampah berserakan di mana-mana serta bau pesing kuda yang menyebar menusuk hidung, membuat para pengunjung enggan berlama-lama di Malioboro. "Kami melihat banyak wisatawan yang mengeluhkan kondisi parkir yang tidak tertata dan tidak cukup menampung. Ditambah lagi sampah yang berserakan meski sudah ada tempat sampah serta bau pesing kuda yang membuat hidung tidak nyaman," paparnya.
Kondisi ini diakui juga oleh Ketua Paguyuban Handayani Malioboro, Sogi Wartono yang mengalami penurunan omset penjualan makanan lesehan di kawasan Malioboro. "Lebaran tahun-tahun sebelumnya, teman-teman pedagang makanan di siang hari selalu ramai pengunjung selama lima hari, bahkan tiga hari yang mana di antaranya selalu membludak hingga selalu kehabisan dagangan. Tapi tahun ini memang ada sedikit perbedaan yakni penurunan omset karena hujan," pungkasnya.
sumber berita: www.krjogja.com
Ada yang pernah tahu usaha taxi motor? Sebenarnya bisnis taxi motor ini sudah ada yang menjalankannya, tapi baru segelintir orang yang menekuninya. Usaha taksi motor merupakan pengembangan dari profesi ojeg yang biasa anda lihat.
Hanya saja usaha taksi motor ini dibuat lebih profesional dan bersistem seperti layaknya taksi mobil. Nah, kebetulan saya punya teman yang merintis usaha taksi motor tersebut (kok kebetulan terus ya… ).
Dan enaknya, beliau berkenan membagikan pengalamannya. Jadi anda nggak perlu repot-repot membayangkan seperti apa sih usaha taksi motor itu.
Eniwei, masih ingat tulisan tentang tips usaha makanan tempo lalu? Di situ saya singgung nama mas Yanuar Gajaksahda. Nah, mas Yanuar inilah teman saya yang merintis usaha taksi motor tersebut. Ia pendiri usaha TRANSMOJO, singkatan dari Transportasi Motor Jogja.
Mas Yan menangkap peluang ini karena melihat adanya celah penggabungan antara taksi mobil dengan ojeg yang manfaatnya dicari oleh konsumen. “Awal mulanya saya mendirikan usaha Transmojo ketika saya tidak memiliki dana untuk sehari-hari. Pada saat itu saya berpikir untuk menjadi tukan ojeg. Namun saya berpikir apa saya bisa dipercaya sebagai tukang ojeg“, jelasnya.
Katanya, kelemahan ojeg selama ini di mata konsumen adalah kurang aman karena statusnya driver tidak diketahui dan konsumen sering kali merasa ditipu karena tarif terlalu tinggi. Sedangkan untuk taksi mobil, kelemahannya pada harga.
Story-nya mas Yan mengawali usaha ini cukup “berdarah-darah”. Ia meminjam motor temannya untuk antar jemput penumpang. Tapi orangnya selalu punya ide yang kreatif, ulet dan pekerja keras.
“Dulu motor yang saya miliki cuma Honda ASTREA 800. Kalau untuk antar jemput penumpang, kondisi motor saya sangat tidak nyaman untuk penumpang. Untuk itu, saya berusaha meminjam motor teman jika ada penumpang yang mau diantar jemput“, kenang Yanuar.
Lha terus sistem operasionalnya gimana? Begini, Transmojo saat ini hanya menggunakan driver freelance, dimana driver akan dipanggil jika ada panggilan saja. Sistem call centre juga diterapkan. Jadi penumpang tinggal “call” saja, driver langsung jemput dan diantar ke lokasi tujuan.
Sistem komisinya, 70% masuk kantong driver, sisanya yang 30% masuk perusahaan. Transmojo biasa menggunakan 1 armada yang bisa dikendarai 2 driver dengan sistem shift. Rencananya, setelah perusahaan stabil, Transmojo akan menerapkan sistem operasional seperti taksi mobil.
Anda tahu kan sistemnya taksi mobil? Taksi mobil memberlakukan setoran tetap harian. Menginjak ke masalah berikutnya, potensi pasar. Kalau kata mas Yan, usaha taksi motor ini prospeknya cukup cerah. Terutama jika diaplikasikan di kota-kota yang akses transportasi umumnya sangat minim.
Bisa juga diterapkan di kota-kota besar yang memiliki kepadatan penduduknya sangat tinggi. Apalagi kalau daerah anda mempunyai potensi wisata yang tinggi. Tapi sebaiknya anda harus melakukan riset pasar terlebih dahulu. Caranya bisa anda baca disini.
“Saya melihat potensi wisata di Kota Jogja sangatlah bagus. Dan saya memikirkan bagaimana usaha taksi motor ini dapat melayani wisatawan yang berpergian sendiri“, kata mas Yanuar.
Sebagai gambaran, layanan wisata Transmojo tidak hanya pada layanan antar jemput penumpang. Mas Yanuar memperluas kegunaan layanannya. Ia memiliki 2 paket wisata, yaitu paket 8 jam dengan biaya 80 ribu, dan paket paket 16 jam dengan biaya 150 ribu. Biaya paket wisata ini sudah termasuk BBM dan driver. Keren kan?
Selain itu, Transmojo juga melayani jasa antar jemput barang. Entah mengantarkan pesanan makanan, barang, surat atau apapun juga dengan keamanan yang terjamin.
Terus modalnya berapa? Investasi paling besar modal dari bisnis taksi motor jatuh di pembelian motor. Paling tidak anda harus beli motor produksi tahun 2000 keatas. Harganya berkisar 7-8 juta.
Lalu anda menambah beberapa aksesoris seperti whilseal (penutup depan) dengan harga 50 ribu – 75 ribu, stiker motor dengan biaya 60 ribu serta perlengkapan pemasaran seperti kartu nama (35 ribu) dan brosur sebesar 250 ribu. Kalau untuk perawatan motornya, anda bisa menganggarkan 50 sampai 150 ribu per bulan, tergantung kerusakannya.
Jika anda adalah salah satu penggemar wisata kuliner, rasanya kurang lengkap kalau belum menikmati salah satu alternatif kuliner tradisional Yogyakarta yang sesungguhnya sangat beragam mulai dari lokasi, jenis, rasa, hingga harga.
Terkadang kendala para penggemar wisata boga ketika ingin menyantap hidangan di Yogya adalah citarasa makanannya yang rata – rata manis, asin, gurih. Namun sebenarnya ada warung yang menyajikan makanan yang tidak menampilkan citarasa manis sama sekali.
Adalah Bu Kardi yang pertama kali memulai memperkenalkan jenis masakan ini pada tahun 1965, pada awalnya adalah uji coba terhadap makanan sisa hasil olahan warung sebelum ini, namun dipadu dengan bumbu rahasia yang kemudian lebih dikenal dengan nama Oseng – oseng Mercon.
Sebutan oseng – oseng mercon sendiri berasal dari konsumen yang menjadi pelanggannya karena pesona rasa pedasnya yang meledak – ledak layaknya mercon, namun tetap memberi citarasa nikmat yang khas. Seperti mercon ( petasan / kembang api ) yang berada di mulut, ketika menikmati oseng – oseng ini.
Keunggulan Produk
Menu oseng yang ditawarkan ini memang berbeda dengan oseng pada umumnya yang kebanyakan menanyajikan daging ayam sapi ataupun kambing sebagai bahan baku, namun Bu Kardi menggunakan bahan baku utamanya adalah kikil sapi, bagian dari sapi yang umumnya dibuat soto ataupun pelengkap tumis.
” Warung Makan ini merupakan warisan dari orang tua saya. Dulu ketika saya masih kecil, saya pun turut membantu orang tua berjualan disini ( dirumah ini ) ” kenang Bu Sunarmi.
Layaknya memasak oseng – oseng, bahan baku kikil sapi dimasak dengan minyak goreng dan ditumis, namun untuk menambah citarasa diberi tambahan bumbu rempah semisal bawang putih, bawang merah, jahe, laos dan direbus selama kurang lebih 1 jam dengan cabe rawit yang telah ditumbuk halus. Setiap harinya setidaknya 10 kilogram kikil sapi diolah untuk memuaskan para pecinta kuliner pedas.
Harga
Untuk menikmati satu porsi masakan ini hanya dipatok harga 6000 rupiah yang sudah disajikan dengan nasi putih dan krupuk rambak sebagai penetral rasa pedas. Rasanya?? sebagai pengolah oseng – oseng pertama di Yogyakarta tidak perlu diragukan, namun sebaiknya anda bersiap dahulu tisu untuk mengusap peluh yang bercucuran dan bersiaplah lidah anda untuk meledak kepedasan.
Warung oseng – oseng mercon ini masih dikelola secara tradisonal, sehingga tidak salah jika pelanggannnya ada yang telah selama 20 tahun tetap setia menikmati sajian warung ini, karena meskipun kini dikelola oleh generasi kedua yaitu Bu Sunarmi sebagai koki utama dan Bu Sumarti sebagai manajer, namun racikan bumbu serta pelayanan tetap terjaga seperti dahulu.
Di tangan generasi kedua, bisnis Mirota berkembang pesat. Sayangnya, pemisahan kepemilikan masing-masing unit bisnis (perusahaan) dan nuansa persaingan di antara anak-anak pendiri mengancam kekompakan keluarga, bahkan keberlangsungan bisnis yang hampir melegenda ini. Bagaimana menyelamatkannya sebelum benar-benar berantakan?
Suara gending terdengar lembut mengalun ketika SWA tiba di The House of Raminten. Sejumlah wanita berpakaian kemben dan jarik tampak lalu-lalang melayani pengunjung di kafe jamu yang baru dibuka setengah tahun lalu dan kini sedang naik daun itu. Meski namanya memakai bahasa Inggris, suasana yang disuguhkan penuh bernuansa Jawa, mulai dari penampilan karyawan hingga musik yang diperdengarkan.
Pendiri kafe ini adalah Hamzah Sulaiman (59 tahun). Bagi kebanyakan warga Yogya, nama Hamzah dikenal sebagai seniman kawakan yang sering memerankan tokoh waria dalam acara pertunjukan di TV lokal. Namun, ia bukan seniman biasa, karena juga berprofesi sebagai desainer dan pengusaha sukses di Kota Gudeg. Asal tahu saja, sebagai generasi kedua keluarga Mirota, ia adalah pemilik Mirota Batik, salah satu usaha di lingkungan keluarga besar Mirota, yang punya toko di kawasan Malioboro (Yogya) dan Pakem (Sleman).
Tak seperti unit usaha Mirota lainnya, The House of Raminten sama sekali tak menempelkan embel-embel nama Mirota yang menjadi ciri khas bisnis generasi kedua keluarga ini. Secara terang-terangan, Hamzah menjelaskan bahwa ada peraturan internal dalam keluarganya tentang penggunaan nama Mirota, yakni hanya boleh digunakan oleh mereka yang memiliki garis keturunan langsung atau hubungan darah dengan pendiri Mirota. Padahal The House of Raminten merupakan bisnis milik anak angkat Hamzah, Bagus Dwi Setiawan. “Nanti bisa jadi masalah kalau menggunakan nama Mirota,” ujar lelaki yang juga aktif sebagai pengurus Dewan Kerajinan Nasional DIY itu.
Hamzah merupakan bungsu dari lima bersaudara anak pendiri Grup Mirota, yaitu mendiang Hendro Sutikno (Tan Kiem Tik) dan Tini Yuniati (Nyoo Tien Nio). Keempat saudaranya yang lain, mulai dari yang tertua, yakni: Yangky Iswanti (66 tahun), Siswanto (64 tahun), Ninik Wijayanti (62 tahun) dan Ariyanti (60 tahun).
The House of Raminten memang hanya salah satu usaha milik keluarga Hamzah – yang tak memakai nama Mirota. Keluarga kakak-kakaknya memiliki bisnis masing-masing – yang sebagian juga tak memakai nama Mirota. Lalu, bagaimana kabar Mirota sendiri?
Yang jelas, postur bisnis Mirota yang usianya hampir 80 tahun, jauh berbeda dibanding ketika dirintis sang pendirinya. Untuk level Jawa-Tengah-DIY, skala bisnisnya tak bisa lagi dianggap enteng. Maklumlah, cikal bakal kelompok usaha ini adalah sebuah warung kecil. Sekarang, bisnis Mirota mencakup produksi susu, es krim, bakery, supermarket, toko batik, perhotelan, furnitur, dan money changer.
Cerita Mirota bermula ketika Hendro Sutikno yang berstatus sebagai karyawan perusahaan bernama Khian Guan – milik raja gula zaman baheula, Oei Thiong Ham – akan dipindahtugaskan ke Cirebon. Karena keberatan berpisah dari suaminya, Tini yang memiliki keahlian membuat kue dan memasak, mengajak suaminya membuka usaha sendiri. Hendro setuju dengan usul sang istri. Maka, mereka membuka warung di garasi rumah di kawasan Kotabaru, yang kini ditempati Mirota Bakery. Di warung itu, mereka menjual minuman dan roti tawar – dari singkatan hidangan inilah muncul nama Mirota.
Dalam perjalanannya Mirota cepat dikenal. Setelah menyewa tempat di Malioboro, bisnis pasutri ini makin berkembang. Mereka akhirnya memiliki Toko Mirota yang cukup populer di Malioboro kala itu. Setelah merasa modalnya cukup, mereka memberanikan diri mendirikan usaha pabrik susu dengan bendera PT Mirota KSM.
Singkat cerita, sebelum wafat tahun 1970-an, Hendro berhasil mewariskan jiwa bisnis kepada anak-anaknya. Menurut pengakuan Hamzah, bapaknya sengaja mendidik anak-anaknya untuk berwirausaha. “Bapak tidak pernah mendorong anaknya sekolah tinggi-tinggi. Rata-rata kami memang sempat kuliah tapi tidak sampai tamat,” ujar Hamzah.
Penanaman jiwa wirausaha ini tampaknya cukup berhasil. Di tangan generasi kedua, Mirota berkembang dan merambah berbagai lini bisnis. Contohnya, di sektor ritel (pusat perbelanjaan), ada Mirota Kampus, Mirota Babarsari, Mirota Kaliurang, Mirota Palagan, Mirota Gejayan, Mirota Gamping, dan Mirota Godean. Di bidang keuangan ada Mirota Money Changer. Lalu, di dunia hiburan ada Challenger Game Centre dan Rumah Mirota Game Centre (yang belakangan menyediakan fasilitas game online sekaligus kafe). Di bisnis mebel khusus ekspor mereka punya PT Mirota Persada. Selain itu, mereka juga memiliki usaha batik, kerajinan dan pusat penjualan makanan khas daerah lewat Mirota Batik & Craft Centre. Dan masih ada beberapa nama lainnya.
Lokasi bisnis Grup Mirota tidak hanya di Yogya, tetapi tersebar di beberapa kota di Indonesia, mulai dari Denpasar (Mirota Batik & Craft Centre), Nusa Dua (Prosteo Fitness Centre dan Cucu Mirota), Surabaya (Mirota Batik & Craft Centre), Bandung (Hotel Pondok Marta), Tangerang (Mirota Batik & Cratf Centre), dan Batam (Hotel Pantai Mirota).
Khusus di Yogya, nama Mirota sudah kondang. Di kota ini, bendera bisnis Mirota berkibar di mana-mana dalam berbagai jenis usaha. Di bisnis F&B, ada PT Mirota Kinder Sugar Milk (Mirota KSM) yang memproduksi susu bermerek Lactona, Prosteo, dan suplemen manula bermerek Prolansia. Ada pula PT Mirota Sambilegi (es krim), PT Mirota Indah Indonesia (memproduksi bakery bermerek Manna Bakery) dan PT Mirota Kotabaru (Mirota Bakery).
Keluarga Mirota memang terbilang pandai menangkap peluang bisnis. Salah satu kejeliannya adalah menangkap peluang pasar pariwisata Yogya. Saat ini, Mirota Batik dan Mirota Bakery menjadi salah satu gerai yang banyak dikunjungi wisatawan di Kota Gudeg. ”Kalau lagi musim liburan, kami sering kewalahan melayani pengunjung,” ujar Hamzah.
Melihat keberhasilan Grup Mirota selama ini, banyak yang mengira Mirota merupakan satu kelompok usaha yang dijalankan secara bersama-sama (oleh anak-anak sang pendiri). Kenyataannya tidak begitu. Mirota tidak memiliki holding company yang memayungi semua unit bisnisnya. Sebaliknya, setiap anggota keluarga sibuk dengan bisnis masing-masing. Jadi, meskipun mereka sama-sama memakai nama Mirota, sebenarnya kepemilikan setiap usaha yang dikembangkan terpisah-pisah. Itulah sebabnya pengembangan usaha grup ini berjalan sporadis dan tidak terstruktur. Maka, pengembangan bisnis Mirota lebih mengandalkan kreativitas dan kegesitan setiap anak pendiri dalam menerjuni berbagai bidang usaha. Sempat ada wacana untuk membangun semacam holding company yang akan memayungi bisnis keluarga besar Mirota. “Tapi sampai sekarang belum terlaksana,” ujar Jozua L., Manajer Humas PT Mirota KSM, mengakui.
Jozua berpendapat, keberadaan holding company yang memayungi bisnis keluarga besar Mirota merupakan ide yang bagus. Namun, ia melihat holding company seperti itu agaknya hanya akan tinggal wacana saja, karena masing-masing keluarga sudah asyik dengan bisnis masing-masing. “Kami sih berharap generasi ketiga akan bisa mewujudkan impian untuk menyatukan kelompok bisnis Mirota,” kata Jozua.
Jozua boleh berharap. Akan tetapi, yang terjadi belakangan justru cenderung sebaliknya. Hal ini terlihat dengan adanya praktik bagi-bagi bisnis antarkeluarga. Bisnis yang semula berstatus milik bersama kemudian dipisah-pisah untuk dimiliki satu orang saja. Karena itulah, meskipun beberapa perusahan itu sama-sama menggunakan nama Mirota, manajemennya sendiri-sendiri. Jadi masing-masing keturunan pendiri Mirota kini memiliki tanggung jawab terhadap bisnis yang dikelolanya. Berkembang-tidaknya bisnis yang dijalankan tergantung pada kreativitas dan kemampuan pemilik usaha yang bersangkutan.
Sebagai contoh, Siswanto – anak kedua dari Hendro Sutikno – termasuk yang paling banyak mempunyai unit bisnis dengan bendera Mirota. Beberapa bisnis yang dijalankan keluarga Siswanto: PT Mirota Nayan (supermarket), PT Mirota Sambilegi (es krim), PT Mirota Indah Indonesia, Cucu Mirota, Prosteo Fitness Centre, dan Rumah Mirota. Sementara Hamzah memiliki PT Hamzah yang menjalankan bisnis Mirota Batik di Malioboro dan Pakem. Lalu, Yangky Iswanti, selain mengelola PT Kalimas AI, juga memegang beberapa supermarket seperti Mirota Godean dan Mirota Gamping. Adapun Ninik Wijayanti mengelola Mirota Bakery, Mirota Kotabaru, Mirota Gejayan, dan Mirota Money Changer. Dan, Ariyanti yang tinggal di Surabaya menjalankan Mirota Batik & Craft Centre yang ada di Surabaya, Bali, Bandung dan Batam.
Menurut Hamzah, dari sekian banyak bisnis yang dijalankan keluarga besar Mirota, tinggal satu perusahaan yang masih berstatus milik bersama (keluarga Mirota), yakni PT Mirota Kinder Sugar Milk (Mirota KSM). Di perusahaan yang memproduksi susu ini, kepemilikan sahamnya dipegang lima anak Hendro. Menurut sumber SWA, kepemilikan saham mereka masing-masing hampir sama, kecuali Siswanto yang sedikit lebih besar. “Dulu yang membagi saham orang tua kami,” kata Hamzah.
Dari lima bersaudara itu, yang duduk di Dewan Direksi Mirota KSM, ada tiga orang. Siswanto sebagai Dirut dan Direktur Pemasaran, Hamzah sebagai Direktur Produksi, dan Yangky Iswanto dipercaya sebagai Direktur Keuangan. “Di Mirota KSM, kami bekerja berbagi tugas,” Hamzah menerangkan. Menurutnya, mereka sekeluarga berusaha mempertahankan Mirota KSM sebagai milik bersama. Alasannya, hanya lewat Mirota KSM inilah, keluarga besar Mirota bisa menyempatkan waktu buat bertemu. “Kalau tidak ada Mirota KSM mungkin kami sudah tidak ada sarana untuk bertemu lagi,” kata laki-laki yang juga pandai menari ini terus terang.
Hamzah mengakui, ketika ibundanya masih hidup, mereka memiliki pertemuan rutin keluarga sebulan sekali. Setelah sang bunda wafat pada 2005, agenda pertemuan rutin tidak jelas nasibnya. “Kami memang sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Jadi, ketemunya hanya lewat telepon,” ujarnya dengan nada rendah.
Selain sibuk menjalankan bisnis, generasi kedua Mirota ternyata juga sibuk menyiapkan generasi ketiga untuk meneruskan roda usaha masing-masing. Beberapa anggota generasi ketiga keluarga Mirota memang tercatat telah menjalankan bisnis masing-masing. Contohnya, Erik, anak pertama pasangan Siswanto dan Sherly, mulai memegang kendali usaha Mirota Palagan dan Rumah Mirota. Sementara Bambang dan Iwan, putra pasangan Yangky Iswanti dan Nico Indarto mulai dipercaya menangani Mirota Godean dan Mirota Gejayan.
Siswanto juga sedang menyiapkan anak bungsunya Kristina yang sedang kuliah di Australia untuk memegang perusahaan roti yang diberi nama Cucu Mirota. Perusahaan roti ini didirikan di Nusa Dua, karena ingin memanfaatkan properti yang dimiliki di Bali. Selain itu, Siswanto juga ingin mengembangkan Mirota lebih luas lagi di kota lain supaya lebih dikenal. ”Meski basisnya di Bali, produk Cucu Mirota juga akan dipasarkan di Jawa,” ujar Jozua orang kepercayaan Siswanto.
Sekilas, tak ada yang salah dengan bisnis Grup Mirota. Apalagi, kelihatannya selalu saja ada pengembangan usaha baru. Masing-masing keluarga seperti punya ambisi kuat mengembangkan bisnisnya. Namun, sebenarnya ada ancaman atau bahaya yang mengintai. Pertama, tak adanya sinergi di antara unit-unit bisnis berembel-embel Mirota yang berbeda pemiliknya itu. Masing-masing bergerak sendiri tanpa ada strategi besar yang mengarahkan. Mereka tentu akan kelabakan sendiri bila berhadapan dengan kompetitor yang kuat. Bahkan, karena pengelolanya berbeda, bisa jadi unit-unit bisnis dengan lini bisnis yang sama di lingkungan Grup Mirota, justru saling bersaing. Di samping itu, bila ada unit bisnis berbau Mirota yang citranya rusak, dampaknya akan mengimbas ke unit bisnis lainnya, dan mungkin sulit dijalin upaya bersama untuk mengatasi. Ancaman kedua, karena generasi kedua keluarga Mirota sudah terbilang sepuh (sebagian besar di atas 60 tahun), sedangkan generasi ketiga belum bersatu padu dan kompak.
Menurut pengamat bisnis dari CBES Yogyakarta Nur Feriyanto, untuk menyelamatkan masa depan bisnis Mirota diperlukan suatu pemikiran yang bisa menyatukan semua pengelola bisnis Grup Mirota. Apalagi, saat ini Mirota sudah pada tahap pengalihan ke generasi ketiga. “Untuk menyelamatkan Mirota ke depan, perlu penyatuan generasi ketiga. Mereka perlu memiliki visi yang sama,” ujar Nur.
Nur malah melihat bau persaingan yang begitu kuat antarpengelola bisnis Mirota. Ia mencontohkan munculnya Manna Bakery, yang tak lain milik keluarga Siswanto. Disebutkan Nur, Manna Bakery muncul karena adanya pencatatan hak paten atas Mirota Bakery yang kini dipegang Ninik Wijayanti. Sebelumnya, Mirota Bakery dijalankan Ninik dan Siswanto. Meski produknya sama, tempat produksinya berbeda, Ninik memproduksi Mirota Bakery di Mirota Kotabaru yang sekaligus dijadikan resto. Sementara Siswanto memproduksi di Sambilegi dengan bendera Mirota Indah Indonesia.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, setelah paten Mirota Bakery sebagai milik Ninik didaftarkan, akhirnya Siswanto menghentikan produksi bakery dengan merek Mirota. Ia kemudian mengembangkan merek lain. Dan sejak lima tahun terakhir ini, keluarga Siswanto mengembangkan merek Manna Bakery. “Yang saya lihat Manna Bakery berkembang cukup bagus, dan pasarnya sudah sangat luas,” ungkap Nur.
Menurut Nur, saat ini sebenarnya waktu yang tepat untuk proses alih generasi keluarga besar Mirota. “Sudah saatnya, generasi ketiga tampil,” kata Nur. Apalagi, selama ini sudah ada beberapa orang generasi ketiga yang dilibatkan dalam menjalankan bisnis.
Satu hal yang layak dilakukan generasi ketiga, lanjut Nur, adalah bagaimana mendorong munculnya semangat untuk menyatukan semua bisnis Mirota di bawah satu holding company. Dengan pembentukan holding, bisnis keluarga besar ini akan semakin kuat. ”Dan, hubungan kekeluargaan mereka juga akan kembali kuat,” pengajar di program pascasarjana Universitas Islam Indonesia ini menandaskan.
Suara gending terdengar lembut mengalun ketika SWA tiba di The House of Raminten. Sejumlah wanita berpakaian kemben dan jarik tampak lalu-lalang melayani pengunjung di kafe jamu yang baru dibuka setengah tahun lalu dan kini sedang naik daun itu. Meski namanya memakai bahasa Inggris, suasana yang disuguhkan penuh bernuansa Jawa, mulai dari penampilan karyawan hingga musik yang diperdengarkan.
Pendiri kafe ini adalah Hamzah Sulaiman (59 tahun). Bagi kebanyakan warga Yogya, nama Hamzah dikenal sebagai seniman kawakan yang sering memerankan tokoh waria dalam acara pertunjukan di TV lokal. Namun, ia bukan seniman biasa, karena juga berprofesi sebagai desainer dan pengusaha sukses di Kota Gudeg. Asal tahu saja, sebagai generasi kedua keluarga Mirota, ia adalah pemilik Mirota Batik, salah satu usaha di lingkungan keluarga besar Mirota, yang punya toko di kawasan Malioboro (Yogya) dan Pakem (Sleman).
Tak seperti unit usaha Mirota lainnya, The House of Raminten sama sekali tak menempelkan embel-embel nama Mirota yang menjadi ciri khas bisnis generasi kedua keluarga ini. Secara terang-terangan, Hamzah menjelaskan bahwa ada peraturan internal dalam keluarganya tentang penggunaan nama Mirota, yakni hanya boleh digunakan oleh mereka yang memiliki garis keturunan langsung atau hubungan darah dengan pendiri Mirota. Padahal The House of Raminten merupakan bisnis milik anak angkat Hamzah, Bagus Dwi Setiawan. “Nanti bisa jadi masalah kalau menggunakan nama Mirota,” ujar lelaki yang juga aktif sebagai pengurus Dewan Kerajinan Nasional DIY itu.
Hamzah merupakan bungsu dari lima bersaudara anak pendiri Grup Mirota, yaitu mendiang Hendro Sutikno (Tan Kiem Tik) dan Tini Yuniati (Nyoo Tien Nio). Keempat saudaranya yang lain, mulai dari yang tertua, yakni: Yangky Iswanti (66 tahun), Siswanto (64 tahun), Ninik Wijayanti (62 tahun) dan Ariyanti (60 tahun).
The House of Raminten memang hanya salah satu usaha milik keluarga Hamzah – yang tak memakai nama Mirota. Keluarga kakak-kakaknya memiliki bisnis masing-masing – yang sebagian juga tak memakai nama Mirota. Lalu, bagaimana kabar Mirota sendiri?
Yang jelas, postur bisnis Mirota yang usianya hampir 80 tahun, jauh berbeda dibanding ketika dirintis sang pendirinya. Untuk level Jawa-Tengah-DIY, skala bisnisnya tak bisa lagi dianggap enteng. Maklumlah, cikal bakal kelompok usaha ini adalah sebuah warung kecil. Sekarang, bisnis Mirota mencakup produksi susu, es krim, bakery, supermarket, toko batik, perhotelan, furnitur, dan money changer.
Cerita Mirota bermula ketika Hendro Sutikno yang berstatus sebagai karyawan perusahaan bernama Khian Guan – milik raja gula zaman baheula, Oei Thiong Ham – akan dipindahtugaskan ke Cirebon. Karena keberatan berpisah dari suaminya, Tini yang memiliki keahlian membuat kue dan memasak, mengajak suaminya membuka usaha sendiri. Hendro setuju dengan usul sang istri. Maka, mereka membuka warung di garasi rumah di kawasan Kotabaru, yang kini ditempati Mirota Bakery. Di warung itu, mereka menjual minuman dan roti tawar – dari singkatan hidangan inilah muncul nama Mirota.
Dalam perjalanannya Mirota cepat dikenal. Setelah menyewa tempat di Malioboro, bisnis pasutri ini makin berkembang. Mereka akhirnya memiliki Toko Mirota yang cukup populer di Malioboro kala itu. Setelah merasa modalnya cukup, mereka memberanikan diri mendirikan usaha pabrik susu dengan bendera PT Mirota KSM.
Singkat cerita, sebelum wafat tahun 1970-an, Hendro berhasil mewariskan jiwa bisnis kepada anak-anaknya. Menurut pengakuan Hamzah, bapaknya sengaja mendidik anak-anaknya untuk berwirausaha. “Bapak tidak pernah mendorong anaknya sekolah tinggi-tinggi. Rata-rata kami memang sempat kuliah tapi tidak sampai tamat,” ujar Hamzah.
Penanaman jiwa wirausaha ini tampaknya cukup berhasil. Di tangan generasi kedua, Mirota berkembang dan merambah berbagai lini bisnis. Contohnya, di sektor ritel (pusat perbelanjaan), ada Mirota Kampus, Mirota Babarsari, Mirota Kaliurang, Mirota Palagan, Mirota Gejayan, Mirota Gamping, dan Mirota Godean. Di bidang keuangan ada Mirota Money Changer. Lalu, di dunia hiburan ada Challenger Game Centre dan Rumah Mirota Game Centre (yang belakangan menyediakan fasilitas game online sekaligus kafe). Di bisnis mebel khusus ekspor mereka punya PT Mirota Persada. Selain itu, mereka juga memiliki usaha batik, kerajinan dan pusat penjualan makanan khas daerah lewat Mirota Batik & Craft Centre. Dan masih ada beberapa nama lainnya.
Lokasi bisnis Grup Mirota tidak hanya di Yogya, tetapi tersebar di beberapa kota di Indonesia, mulai dari Denpasar (Mirota Batik & Craft Centre), Nusa Dua (Prosteo Fitness Centre dan Cucu Mirota), Surabaya (Mirota Batik & Craft Centre), Bandung (Hotel Pondok Marta), Tangerang (Mirota Batik & Cratf Centre), dan Batam (Hotel Pantai Mirota).
Khusus di Yogya, nama Mirota sudah kondang. Di kota ini, bendera bisnis Mirota berkibar di mana-mana dalam berbagai jenis usaha. Di bisnis F&B, ada PT Mirota Kinder Sugar Milk (Mirota KSM) yang memproduksi susu bermerek Lactona, Prosteo, dan suplemen manula bermerek Prolansia. Ada pula PT Mirota Sambilegi (es krim), PT Mirota Indah Indonesia (memproduksi bakery bermerek Manna Bakery) dan PT Mirota Kotabaru (Mirota Bakery).
Keluarga Mirota memang terbilang pandai menangkap peluang bisnis. Salah satu kejeliannya adalah menangkap peluang pasar pariwisata Yogya. Saat ini, Mirota Batik dan Mirota Bakery menjadi salah satu gerai yang banyak dikunjungi wisatawan di Kota Gudeg. ”Kalau lagi musim liburan, kami sering kewalahan melayani pengunjung,” ujar Hamzah.
Melihat keberhasilan Grup Mirota selama ini, banyak yang mengira Mirota merupakan satu kelompok usaha yang dijalankan secara bersama-sama (oleh anak-anak sang pendiri). Kenyataannya tidak begitu. Mirota tidak memiliki holding company yang memayungi semua unit bisnisnya. Sebaliknya, setiap anggota keluarga sibuk dengan bisnis masing-masing. Jadi, meskipun mereka sama-sama memakai nama Mirota, sebenarnya kepemilikan setiap usaha yang dikembangkan terpisah-pisah. Itulah sebabnya pengembangan usaha grup ini berjalan sporadis dan tidak terstruktur. Maka, pengembangan bisnis Mirota lebih mengandalkan kreativitas dan kegesitan setiap anak pendiri dalam menerjuni berbagai bidang usaha. Sempat ada wacana untuk membangun semacam holding company yang akan memayungi bisnis keluarga besar Mirota. “Tapi sampai sekarang belum terlaksana,” ujar Jozua L., Manajer Humas PT Mirota KSM, mengakui.
Jozua berpendapat, keberadaan holding company yang memayungi bisnis keluarga besar Mirota merupakan ide yang bagus. Namun, ia melihat holding company seperti itu agaknya hanya akan tinggal wacana saja, karena masing-masing keluarga sudah asyik dengan bisnis masing-masing. “Kami sih berharap generasi ketiga akan bisa mewujudkan impian untuk menyatukan kelompok bisnis Mirota,” kata Jozua.
Jozua boleh berharap. Akan tetapi, yang terjadi belakangan justru cenderung sebaliknya. Hal ini terlihat dengan adanya praktik bagi-bagi bisnis antarkeluarga. Bisnis yang semula berstatus milik bersama kemudian dipisah-pisah untuk dimiliki satu orang saja. Karena itulah, meskipun beberapa perusahan itu sama-sama menggunakan nama Mirota, manajemennya sendiri-sendiri. Jadi masing-masing keturunan pendiri Mirota kini memiliki tanggung jawab terhadap bisnis yang dikelolanya. Berkembang-tidaknya bisnis yang dijalankan tergantung pada kreativitas dan kemampuan pemilik usaha yang bersangkutan.
Sebagai contoh, Siswanto – anak kedua dari Hendro Sutikno – termasuk yang paling banyak mempunyai unit bisnis dengan bendera Mirota. Beberapa bisnis yang dijalankan keluarga Siswanto: PT Mirota Nayan (supermarket), PT Mirota Sambilegi (es krim), PT Mirota Indah Indonesia, Cucu Mirota, Prosteo Fitness Centre, dan Rumah Mirota. Sementara Hamzah memiliki PT Hamzah yang menjalankan bisnis Mirota Batik di Malioboro dan Pakem. Lalu, Yangky Iswanti, selain mengelola PT Kalimas AI, juga memegang beberapa supermarket seperti Mirota Godean dan Mirota Gamping. Adapun Ninik Wijayanti mengelola Mirota Bakery, Mirota Kotabaru, Mirota Gejayan, dan Mirota Money Changer. Dan, Ariyanti yang tinggal di Surabaya menjalankan Mirota Batik & Craft Centre yang ada di Surabaya, Bali, Bandung dan Batam.
Menurut Hamzah, dari sekian banyak bisnis yang dijalankan keluarga besar Mirota, tinggal satu perusahaan yang masih berstatus milik bersama (keluarga Mirota), yakni PT Mirota Kinder Sugar Milk (Mirota KSM). Di perusahaan yang memproduksi susu ini, kepemilikan sahamnya dipegang lima anak Hendro. Menurut sumber SWA, kepemilikan saham mereka masing-masing hampir sama, kecuali Siswanto yang sedikit lebih besar. “Dulu yang membagi saham orang tua kami,” kata Hamzah.
Dari lima bersaudara itu, yang duduk di Dewan Direksi Mirota KSM, ada tiga orang. Siswanto sebagai Dirut dan Direktur Pemasaran, Hamzah sebagai Direktur Produksi, dan Yangky Iswanto dipercaya sebagai Direktur Keuangan. “Di Mirota KSM, kami bekerja berbagi tugas,” Hamzah menerangkan. Menurutnya, mereka sekeluarga berusaha mempertahankan Mirota KSM sebagai milik bersama. Alasannya, hanya lewat Mirota KSM inilah, keluarga besar Mirota bisa menyempatkan waktu buat bertemu. “Kalau tidak ada Mirota KSM mungkin kami sudah tidak ada sarana untuk bertemu lagi,” kata laki-laki yang juga pandai menari ini terus terang.
Hamzah mengakui, ketika ibundanya masih hidup, mereka memiliki pertemuan rutin keluarga sebulan sekali. Setelah sang bunda wafat pada 2005, agenda pertemuan rutin tidak jelas nasibnya. “Kami memang sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Jadi, ketemunya hanya lewat telepon,” ujarnya dengan nada rendah.
Selain sibuk menjalankan bisnis, generasi kedua Mirota ternyata juga sibuk menyiapkan generasi ketiga untuk meneruskan roda usaha masing-masing. Beberapa anggota generasi ketiga keluarga Mirota memang tercatat telah menjalankan bisnis masing-masing. Contohnya, Erik, anak pertama pasangan Siswanto dan Sherly, mulai memegang kendali usaha Mirota Palagan dan Rumah Mirota. Sementara Bambang dan Iwan, putra pasangan Yangky Iswanti dan Nico Indarto mulai dipercaya menangani Mirota Godean dan Mirota Gejayan.
Siswanto juga sedang menyiapkan anak bungsunya Kristina yang sedang kuliah di Australia untuk memegang perusahaan roti yang diberi nama Cucu Mirota. Perusahaan roti ini didirikan di Nusa Dua, karena ingin memanfaatkan properti yang dimiliki di Bali. Selain itu, Siswanto juga ingin mengembangkan Mirota lebih luas lagi di kota lain supaya lebih dikenal. ”Meski basisnya di Bali, produk Cucu Mirota juga akan dipasarkan di Jawa,” ujar Jozua orang kepercayaan Siswanto.
Sekilas, tak ada yang salah dengan bisnis Grup Mirota. Apalagi, kelihatannya selalu saja ada pengembangan usaha baru. Masing-masing keluarga seperti punya ambisi kuat mengembangkan bisnisnya. Namun, sebenarnya ada ancaman atau bahaya yang mengintai. Pertama, tak adanya sinergi di antara unit-unit bisnis berembel-embel Mirota yang berbeda pemiliknya itu. Masing-masing bergerak sendiri tanpa ada strategi besar yang mengarahkan. Mereka tentu akan kelabakan sendiri bila berhadapan dengan kompetitor yang kuat. Bahkan, karena pengelolanya berbeda, bisa jadi unit-unit bisnis dengan lini bisnis yang sama di lingkungan Grup Mirota, justru saling bersaing. Di samping itu, bila ada unit bisnis berbau Mirota yang citranya rusak, dampaknya akan mengimbas ke unit bisnis lainnya, dan mungkin sulit dijalin upaya bersama untuk mengatasi. Ancaman kedua, karena generasi kedua keluarga Mirota sudah terbilang sepuh (sebagian besar di atas 60 tahun), sedangkan generasi ketiga belum bersatu padu dan kompak.
Menurut pengamat bisnis dari CBES Yogyakarta Nur Feriyanto, untuk menyelamatkan masa depan bisnis Mirota diperlukan suatu pemikiran yang bisa menyatukan semua pengelola bisnis Grup Mirota. Apalagi, saat ini Mirota sudah pada tahap pengalihan ke generasi ketiga. “Untuk menyelamatkan Mirota ke depan, perlu penyatuan generasi ketiga. Mereka perlu memiliki visi yang sama,” ujar Nur.
Nur malah melihat bau persaingan yang begitu kuat antarpengelola bisnis Mirota. Ia mencontohkan munculnya Manna Bakery, yang tak lain milik keluarga Siswanto. Disebutkan Nur, Manna Bakery muncul karena adanya pencatatan hak paten atas Mirota Bakery yang kini dipegang Ninik Wijayanti. Sebelumnya, Mirota Bakery dijalankan Ninik dan Siswanto. Meski produknya sama, tempat produksinya berbeda, Ninik memproduksi Mirota Bakery di Mirota Kotabaru yang sekaligus dijadikan resto. Sementara Siswanto memproduksi di Sambilegi dengan bendera Mirota Indah Indonesia.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, setelah paten Mirota Bakery sebagai milik Ninik didaftarkan, akhirnya Siswanto menghentikan produksi bakery dengan merek Mirota. Ia kemudian mengembangkan merek lain. Dan sejak lima tahun terakhir ini, keluarga Siswanto mengembangkan merek Manna Bakery. “Yang saya lihat Manna Bakery berkembang cukup bagus, dan pasarnya sudah sangat luas,” ungkap Nur.
Menurut Nur, saat ini sebenarnya waktu yang tepat untuk proses alih generasi keluarga besar Mirota. “Sudah saatnya, generasi ketiga tampil,” kata Nur. Apalagi, selama ini sudah ada beberapa orang generasi ketiga yang dilibatkan dalam menjalankan bisnis.
Satu hal yang layak dilakukan generasi ketiga, lanjut Nur, adalah bagaimana mendorong munculnya semangat untuk menyatukan semua bisnis Mirota di bawah satu holding company. Dengan pembentukan holding, bisnis keluarga besar ini akan semakin kuat. ”Dan, hubungan kekeluargaan mereka juga akan kembali kuat,” pengajar di program pascasarjana Universitas Islam Indonesia ini menandaskan.
Kawasan Jogja utara memang sangat menjanjikan untuk bisnis maupun investasi. Buktinya di kawasan ini bermunculan banyak hotel, restoran, rumah makan maupun toko fashion baru. Seperti yang kini tengah dirintis Faruck Sholekhan, pria kelahiran Jepara yang kini membuka usaha wisata Fashion di kawasan Palagan , Rejodani Jogjakarta. Faruk memiliki alasan tersendiri membuka usaha fashion ini karena dibenaknya Jogja selain kota pelajar juga kota mode. "Disini hampir setiap minggu keluar mode fashion terbaru bahkan ahli perancang busana di kota ini banyak yang sukses di ibukota. Ini bukti kalau Jogja memiliki potensi menjadi kota mode dan fashion ternama," ungkap Faruck - alumni STTNas Jogja yang kini memiliki 4 outlet fashion di beberapa tempat di Jogja.
Selain fashion, dimata Faruck, Jogja utara juga masih menjanjikan untuk usaha bisnis pariwisata termasuk pemacingan, rumah makan dan wisata outbound lainya. Lokasi dengan pemandangan alam yang indah, juga kawasan yang cepat berkembang menjadi pilihan bagi kalangan pebisnis, termasuk dirinya untuk tertarik membuka usaha wisata baru. "Kalau outlet fashion ini hanya sampingan. Yang utama sebenarnya distributor Pralon Jateng/DIY," jelas Faruck sambil tersenyum.
Kunci sukses mengelola bisnisnya selama 8 tahun lebih selain terus menjaga kualitas produk juga selalu kreatif menangkap peluang pasar. Selain itu dirinya mengaku harus percaya diri dan jujur. "Kalau kini usaha saha bisa jalan alhamdulilah. Tapi tersu terang saja saya pernah jatuh . 9 mobil saya jual untuk nutup utang," kenang Faruck.
Soal pariwisata Jogja, dirinya optimis propek ke depan masih akan cerah dan sangat menjanjikan. Asal semua kompak dan bersinergis menjalin kerjasama.
Source: www.visitingjogja.com
Selain fashion, dimata Faruck, Jogja utara juga masih menjanjikan untuk usaha bisnis pariwisata termasuk pemacingan, rumah makan dan wisata outbound lainya. Lokasi dengan pemandangan alam yang indah, juga kawasan yang cepat berkembang menjadi pilihan bagi kalangan pebisnis, termasuk dirinya untuk tertarik membuka usaha wisata baru. "Kalau outlet fashion ini hanya sampingan. Yang utama sebenarnya distributor Pralon Jateng/DIY," jelas Faruck sambil tersenyum.
Kunci sukses mengelola bisnisnya selama 8 tahun lebih selain terus menjaga kualitas produk juga selalu kreatif menangkap peluang pasar. Selain itu dirinya mengaku harus percaya diri dan jujur. "Kalau kini usaha saha bisa jalan alhamdulilah. Tapi tersu terang saja saya pernah jatuh . 9 mobil saya jual untuk nutup utang," kenang Faruck.
Soal pariwisata Jogja, dirinya optimis propek ke depan masih akan cerah dan sangat menjanjikan. Asal semua kompak dan bersinergis menjalin kerjasama.
Source: www.visitingjogja.com
Setelah di Bagian I, saya menyampaikan bahwa dalam bisnis broker property, lebih banyak kegiatan yang memiliki karakter “Red Ocean”, maka ada baiknya di tulisan kali ini saya bahas ciri-ciri bilamana “Blue Ocean” berhasil diciptakan.
Dalam tulisan yang lalu salah satu ciri “Red Ocean” adalah kuatnya kaitan antara value dan cost, sementara ciri “Blue Ocean” justru adalah hampir tidak tampaknya kaitan antara value dan cost.
Artinya ketika “Blue Ocean” terjadi, justru yang tampak adalah sesuatu yang “value”nya tinggi, tetapi harga yang harus dibayar konsumen tetap “murah”, dan tentu saja pebisnis ybs tetap merasakan “margin” yang sangat baik. Bahkan dapat dikatakan “margin”nya sangat baik, baru kemudian akan bergerak turun, ketika mulai lagi banyak yang meniru secara tidak kreatif alias terbentuknya lagi tahapan “Red Ocean”.
Ambil contoh bisnis airline murah. Menurut sudut pandang ini belum tentu airline yang menjual ticket murah dapat dikatakan sudah berhasil menemukan “Blue Ocean”nya. Bisa saja ticket murah yang ditawarkan merupakan hasil dari menurunkan value, yang berarti juga memainkan ikatan komponen value dan cost, misalnya dengan menjarangkan perawatan yang semestinya, menggunakan pesawat lama jenis tertentu yang mungkin murah untuk jangka pendek, tetapi malah mahal dalam jangka panjang, atau menghilangkan penggunaan kertas dalam “booking dan ticketing” tanpa menampilkan alternative pengganti yang memadai. Sehingga dalam beberapa tulisan terdahulu, saya mengatakan bahwa “Low Fare, belum tentu Low Cost”.
Kebalikannya tentu saja jika airline ybs, mampu dan berusaha untuk memberikan tawaran-tawaran lain atau “value”, yang tentu saja biasanya langsung diikuti dengan peningkatan “cost” bagi perusahaan ybs, dan tentu saja masuk dalam kategori “Red Ocean”.
Bandingkan dengan strategi salah satu airline, sebut saja airline AA, yang belum lama ini memberikan 2 juta kursi gratis. Bagaimana rasionalisasi tawaran tsb?
Menurut saya dengan menawarkan layanan booking secara online, berarti perusahaan tsb sedang mengedukasi pasar, sehingga di kemudian hari konsumennya akan terbiasa dengan kebiasaan online tsb, yang tentu saja berbuah penghematan karena “paperless” dari sisi airline AA tsb, kemudian juga penghematan lainnya, karena AA tidak harus mengeluarkan komisi untuk travel agent dsb.
Bagaimana dengan 2 jt kursi gratis dan iklan AA yang biayanya cukup besar itu?
Menurut analisa “kasar” saya , rata-rata per keluarga yang berusaha untuk mendapatkan kursi gratis tsb akan membayar paling tidak Rp. 3 jt, karena mungkin dari satu negara atau kotanya “gratis” tetapi akan bayar untuk tujuan berikutnya, ambil contoh untuk Jakarta – Kuala Lumpurnya mungkin seseorang berhasil mendapatkan “gratis” untuk tanggal tertentu, tetapi mungkin tidak mendapatkan yang free manakala ybs sebenarnya ingin pergi ke Thailand, tetapi memang harus “lewat” Kuala Lumpur.
Dengan hitungan kasar tsb, maka AA mendapatkan 6 Trilyun, untuk penerbangan yang mungkin paling tidak 3 bulan kedepan. Dengan 1% suku bunga perbulan saja, maka AA paling tidak mendapatkan income “tambahan” 60 Milyar perbulan yang jumlah nya akan turun seiring dengan penerbangan yang dilakukan konsumennya. Tentunya nilai tsb “cukup” untuk membiayai iklan yang tentunya jauh lebih kecil nilainya. Belum lagi jika ditinjau dari segi “berhasil”nya AA menggiring konsumennya untuk “go online” yang berarti secara jangka panjang memangkas banyak “biaya” pemasaran dan perantara.
Dari sudut pandang lain juga ada hal yang menarik, yakni di saat banyak airline yang merugi dan “load factor” nya “babak belur” terutama untuk rute yang tidak terlalu favorit, AA justru sudah mendapatkan “load” jauh sebelum hari H, yang berarti mendukung keseluruhan planning dan efisiensinya.
Di industri Property Agent, sebaliknya, banyak sekali terjadi “inovasi”, tetapi lucunya semua masuk dalam kategori “Red Ocean”.
Di Amerika, yang “terparah” adalah dengan hadirnya “flat fee” brokerage. Bayangkan jika anda mendapatkan “fee” yang “flat” untuk berapapun nilai property yang anda jual.
Untungnya ternyata menurut satu penerbitan di Amerika yang memuat beberapa survey, kehadiran “discounters”, “cut rate”, dan “flat fee”broker memiliki effect yang sangat kecil terhadap “full service” broker.
Saya berpikir bahwa sebaiknya sebelum kita berhasil menemukan “Blue Ocean” di industri kita, ada baiknya apabila kita tidak turut merusaknya.